Cerpen "Rain in Madura"

Rama, Bluto, 2017

       Suasana pagi ini terasa berbeda dengan pagi kemarin. Iya, mungkin karena gadis manis itu, kelas  ini menjadi berbeda bagiku. Aku jadi betah. Jika bersamanya aku tak ingin keluar dari kelas ini lagi. Nisa namanya. Gadis manis Rayonan dari sekolah sebelah. Sejak pertama kali melihatnya, rasa ini berbeda, brutal, tak karuan, penasaran serasa ingin terus menatapnya. Ah, apalagi ketika ia tersenyum padaku. Hati ini melayang dan jatuh tepat pada hatinya. Boom.  Mendekatinya, ternyata cukup sulit juga. Kecil hati, melihat teman ku saja yang mukanya sedikit lebih lumayan cakep dariku, tanpa melihat angin barat dan angin timur, ia langsung menyatakan perasaannya dan al hasil ditolak mentah-mentah guys... tepat di depan mata ku. Ngeri, aku takut bernasib sama dengan teman ku itu. Yaahh... Karena aku bukan sekedar iseng-iseng berhadiah saja padanya, seperti para_Dia. Perlahan, akhirnya aku mulai akrab dan berteman baik dengannya. Dengan penuh kesabaran, aku membuatnya merasa nyaman dan aman terlebih dahulu. Tengok kanan kiri kelihatannya waktunya sudah pas untuk mengungkapkan rasa ini padanya. Aku memberanikan diri dengan sedikit keringat gerogi di muka ku, pada detik-detik aku mengatakan  benar-benar menginginkannya.

      "Nis, kita kan sudah lama temenan dan aku nyaman dengan mu." Ujarku dengan menarik nafas dalam-dalam. Saat itu aku dan Nisa berkesempatan duduk berdua pada saat acara reuni UNBK di tepi pantai kemarin.

       "Maksud mu?" Nisa bertanya dengan mengerutkan dahi dan sedikit menaikkan sebelah alis indahnya.

      "Eemmh... Gimana kalau kita pacaran? Nanti kalau kita tidak cocok kita bisa temenan lagi, tapi aku maunya agar lebih serius." Mencoba untuk menatap matanya. Menahan napas menunggu jawaban darinya.

    "Maaf ya untuk hari ini aku masih tidak bisa menerimamu. Entah dengan esok." Nisa menjawabnya dengan senyuman manisnya yang aku suka. Manis dan misterius. Ia palingkan matanya pada indahnya lautan sana.

    "Oh, oke aku akan tunggu jawaban mu esok." Melepas napasku dengan menaruh harapan pada senyuman manisnya.

       Keesokan harinya aku menemuinya di tempat biasa menagih jawabannya. "Bagaimana dengan jawabanmu?" Tanya ku dengan menggenggam tangan lembutnya Dan menatap matanya. Hatiku mulai dag-dig-dug saat detik-detik jawaban mulai keluar dari bibir merah jambunya. Dan akhirnya...

    "Eemmh," Sepertinya ia masih bingung dengan jawabannya. Ketidak sabaranku menumbuhkan kekecewaan padanya.

    "Oke,, tak apa jika kamu tidak mau denganku. Mun abe' duepah, Sa. Kita berteman saja." Suara Rama berubah dingin disaat suasana lagi panas nan genting.

     "Tidak, bukan gitu maksud aku. Duh kok jadi gini sih. Aku mau kok. Sebenarnya aku juga nyaman denganmu." Akhirnya jawaban yang aku tunggu-tunggu ia keluarkan juga dari bibir manisnya. Seketika mendinginkan panasnya suasana. Sedingin hujan yang turun saat itu.

    Senyum bahagia mulai terukir pada hati ini. "Yes, akhirnya." Ku nikmati tetesan hujan pada tubuhku. Tak ada dingin. Tak ada Sesal. Yang ada hanya "Cinta". Harapan penuh untuk kami. Sederhana, kata "aku" dan "kamu" diubah menjadi "kita" dan "hujan".
   
    Kurentangkan tangan ini dan memanggilnya untuk berteduh dalam pelukanku. Bersama, menikmati hangatnya hujan dalam pelukan satu nafas.
   
    *Mulai detik itu aku suka hujan.*

  Nisa, Bluto, 2017

   Cinta. Hanya dia yang aku pikirkan dan membuatku sering tersenyum sendiri. Gila. Memang iya, mungkin aku sudah gila tapi anehnya aku masih sadar bahwa sebuah genggaman serta yang telah aku genggam tak sesempurna bulan purnama. Namun cinta tak memandang itu semua. Ia ada dan tiada karena sendirinya. Semakin hari rasanya semakin aneh. Seperti anak burung yang baru belajar terbang.
   "Kling" Buyarlah lamunan ku. Tanganku meraba-raba kasur, mencari ponsel yang berbunyi. Ternyata ada pesan dari Rama. Bergegaslah aku membukanya.

(Sa, ada dimana? Aku rindu ingin ketemu. Kita makan di luar yuk!)
 
    Hah? Rama ngajak aku keluar? Bagaimana caranya aku bisa keluar? Sedangkan ibu ku agak sedikit fanatik.

(Aku takut ndak dapat izin dari ibu, Aku ndak bisa. Sebenarnya aku juga rindu. Maaf.)

(Aku berangakat jemput kamu)

(Eh, jangan!)

    Aku tercengat dan melarangnya. Beberapa menit kemudian, ia beneran sampai di rumah ku. Waduh mati aku.

    "Assalamualaikum" Tanpa rasa takut Rama mencium tangan ibu ku.

    "Waalaikumsalam, sapa ye? Bede parlo apa?" Tanya ibu ku pada Rama dan membuatku semakin takut.

    "Begini buk, maksud kedatangan kaule, nyo'onah izin, kaule ngajekkeh potrena sampean kaloar" Dengan tenang Rama meminta izi pada ibu ku.

    "kaloar de'emma? Jek bit abit tulih mule." Terkejut, Rama dapat izin? Masih tak percaya.

    Berangkatlah kami makan di luar memadu kasih melabuhkan rindu disana. Kami resmi pacaran. Ibuku juga sudah mulai dekat dengan Rama.

Rama, Bluto 2018

    Malam ini, malam pergantian tahun. Dimana orang-orang bergerombolan pergi ke alun-alun kota untuk merayakannya. Begitu pula pun aku dan Nisa juga bagian dari mereka. Jam 12:00 kembang api tengah dilepaskan. Mewarnai langit malam. Memeriahkan malam itu. Nisa terlihat sangat bahagia, aku pun lebih bahagia melihat senyumnya. Saat aku dan Nisa tengah menikmati pemandangan cahaya indah kembang api itu. Mungkin aku telah mematahkan suasana hatinya hanya dengan sedikit dari kata-kata ku. Bagaimana bisa? Iya, tentu saja bisa. 

   "Nis, aku mau mengatakan sesuatu sama kamu" Saat mata indahnya menikmati cahaya langit pada malam itu.

     "Mau mengatakan apa?" Mengalihkan pandangannya kepada ku.

     "Minggu depan aku mau berangkat merantau." Sebentar lagi aku akan meninggalkannya sendirian di Madura.

     "Apa? Tidak, aku tidak akan bisa jika harus berhubungan jarak jauh. Aku takut tidak bisa menjaga hati ku disini sendiri." Grutunya sambil menyatukan kedua alisnya mengekspresikan wajah tidak suka.

"Tapi aku harus pergi. Aku harus kerja dan membawa pulang uang untuk mu, untuk kita nanti." Tegas ku akan niat baik ku.

"Benar kau akan pergi? Iya aku mengerti dengan posisimu, dan terimakasih sudah menyayangiku sebesar itu. Tapi kita akan jauh. Dan aku tak akan bisa." Memeluknya dan memberi waktu untuk menangis dalam pelukanku.

   Minggu itu telah tiba. Meninggalkannya sendiri, sungguh aku tak ingin. Tapi aku harus pergi. Karena untuk membawa anak orang makan saja harus punya uang. Jujur aku mati, ketika kelopak matanya penuh dengan air mata saat kaki ku mulai menginjak tangga bis. Terakhir ku lihat wajah manisnya melalui kaca bis yang semakin lama semakin jauh dan menghilang.

Nisa, Bluto 2018

Seperti biasa, aku melakukan aktifitas-aktifitas untuk mengisi luang kosong dan sedikit melupakan Roni. Menghadiri rutinitas kajian mingguan di komunitas. Bersama teman-teman aku tersenyum kembali.

    "Mau daftar beasiswa tidak? Di kampus ku ada berbagai macam beasiswa. Kalau memang mau nanti aku bantu daftarkan deh." Tiba-tiba ada salah satu teman ku menawarkan beasiswa di kampusnya. Sebut saja dia, Andra namanya. Teman baik yang suka menyayangi teman-temannya.
   
     "Iya aku mau. Yahh... Mau coba-coba saja siapa tahu diterima, semoga saja deh." Awalnya sih aku tidak ingin kuliah. Aku ingin bekerja dan memberikan uang untuk ibuku. Tapi tuhan memberikan jalan lain untuk ku. Mungkin aku memang ditakdirkan untuk meneruskan pendidikan ku.
   
    "Oke. Lengkapi berkas-berkas persyaratannya dulu ya." Ia langsung bergegas pergi karena dipanggil ibunya.
   
    "Iya. Siap kak. Terimakasih infonya ya. " Aku mengeraskan suara ku karena ia semakin jauh.

Hidup ku mulai kembali normal. Hari-hari berjalan dengan indah bersama teman-teman ku. Menikmati secangkir kopi ditemani angin sepoi-sepoi dengan birunya lautan di tepi pantai membuat suasana semakin nyaman. Mendengarkan cerita-cerita mereka. Melepaskan kegelisahan, melepaskan kesepian, melepaskan ketidak bahagiaan. Di sana. Tertawa lepas serasa bebas beban pun tuntas. Mungkin benar, teman adalah istana kedua dari keluarga.

#Jakarta

Rama

"kamu sudah sampai di Jakarta, Ram?" Tanya Ifan sambil memelukku saat bertemu di terminal bis.

Hah. Aku menarik nafas dan menghirup udara di Jakarta sangat panas sekali.

"Iya fan. Bagaimana kabarmu disini? Sudah lama tidak bertemu, ternyata sekarang kau semakin gagah." Seperti biasa, usilku padanya sambil memegang otot-ototnya.

"Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja di sini. Ah, sudahlah ayo berangkat. toko sudah menunggumu di sana." Ia melepas tanganku yang menyentuh ototnya dan membawaku ke tempat pekerjaan ku.

Iya, aku bukanlah pangeran Erik, yang bisa membahagiakan putri Ariel di kerajaannya. beginilah kehidupan ku. Mengorbankan perasaan demi kebahagiaan orang yang tersayang, di sana. Bermigrasi jauh demi sebuah kebutuhan.

Nisa

"Nis, hari ini beasiswa akan diumumkan. Coba deh kamu lihat mading kampus. Siapa tahu ada nama mu di sana." Kabar dari Andra. Ia menyuruh ku agar segera pergi ke kampus.

"Oh iya kak. Aku akan kesana sekarang." Aku bergegas menghidupkan stater motor ku. Ingin segera melihat apakah ada nama Anissa Fanny di sana.

Seusai sampai di kampus. Aku segera menuju mading. Mataku mulai menyusuri kertas pengumuman itu. Ternyata dari ratusan yang mendaftar hanya tinggal beberapa orang saja. Aku mulai takut saat melihat daftar nama penerima beasiswa sangatlah sedikit.

"Ah, itu dia. Anissa Fanny." Tenyata nama ku tercantum di kertas itu. Sungguh aku tidak percaya. Aku mengeceknya sekali lagi. Terasa sedang bermimpi. Aku mencubit pipi ku sendiri untuk membuktikan bahwa aku sedang tidak tidur dan tidak bermimpi. Sungguh ini nyata. Tuhan, terimakasih. Aku merasa sangatlah beruntung. Menjadi mahasiswa tak pernah ada dalam benak ku. Tak terduga, sebentar lagi aku akan menjadi bagian dari mereka. Mereka, yang tak pernah dipandang sebelah mata. Aku sangat bahagia. Dan pulang menemui ibu ku.

"Ibu, Nkok lolos. Nkok Etarema." Dengan sangat bahagia aku memeluk ibuku.

"Apana se lolos, apana se etarema?" Ibu kebingungan karena aku tidak berkata dengan jelas.

"Beasiswa ibu... Nkok etarema."

"Alhamdulillah... Jek sea-sea aghi kasempatan reya, Ajher pa bhender... Nkok tak bisa a biayai be'na. Moghe-moghe be'na pangaro."

Air mata bahagia menemani kami. Harapan baru muncul menyertainya. Tuhan telah mempercayaiku, sehingga aku diberi anugrah sebesar ini. Aku pun berjanji untuk menjaga amanah ini dengan baik.

Rama

Setelah setengah jam perjalanan. Sampai juga di toko tempat aku akan bekerja. Jakarta tidak semacet biasanya. Aku segera masuk ke dalam toko dan berbincang-bincang dengan pemiliknya. Kebetulan pemilik toko itu adalah teman ku sendiri.

"Sudah lama kita tidak bertemu bro" Rudi lansung memeluk ku dan menyuruh duduk.

"Iya rud, semenjak kita lulus SMA kamu langsung tinggalkan madura." Ujar ku sambil menepuk bahu besarnya.

"Hhh iya, Beremma kabher e madura? Nkok Kerrong la udara e dissak." Tanyanya, ia merindukan kampung halamannya.

"Masih seperti biasa. Tapi semenjak teman-teman yang lain sudah pada minggat, termasuk dirimu. Di sana terasa sepi dan tidak asyik lagi."

"Ah, kamu kan punya cewek bro... Masih ada temannya."

"Iya sih, sebenarnya Nkok tak teghe Atina  katibi'en e madura. Nkok kerrong laaahh."

"Mak tak e gibe Ka dinnak phei be'na bro?"

"Ah kamu. Ya nggak lah bro, dia kuliah di sana."

"Hhhaa iye la iyeee... Ngakana apa be'na mara e melle agiye?"

"Ca'na be'na lah bro, saromben pokok kenyang."

Berangkatlah ia membeli makanan, dan aku Membenah barang-barang ku.

Nisa

Bulan terdampar di pelantara
Hati yang temara
Matamu juga menatap mataku
Ada hasrat yang mungkin terlarang
Satu kata yang sulit terucap
Hingga batinku tersiksa
Tuhan tolong aku jelaskanlah
Perasaanku berubah jadi cinta

Bait bait lagu ini menjadi gambaran betapa diri ini sedang terlempar jauh dalam dunia amor, merah nan ranum Aku terperanjat dan terikat hati dengannya, meski aku sadar ada hati yang akan ku sakiti dengan kejahatan ini. Iya, bahunya adalah tempat ternyaman bagiku, dikala aku mulai lelah.

"Kamu kenapa dek? Sepertinya gak semangat gitu." Tiba-tiba kak Reza memegang bahu ku dan menanyakan keadaanku yang ambruh.

"Aku ingin teriak kak, sekeras mungkin. Aku ingin melepas semua beban ini." Tanpa sadar, aku pun menjawab pertanyaannya.

"Kalau begitu berteriaklah dek, lepaskan semuanya. Besok ikut kakak ke suatu tempat. Disana kamu bisa melakukan semua yang engkau mau."

"Kemana kak?"

"Sudahlah... Pokoknya ikut saja. Besok aku jemput ke rumah mu."

Ke esokan harinya, tibalah kak Reza. Kemudian berangkatlah kami ke tempat tersebut.

Setibanya di pantai, "Aaaaaaaaahh.." Aku berteriak sekeras-kerasnya mengeluarkan beban hati pikiran ku. Sampai aku terjatuh karena lelah. Kemudian kak Reza membantu ku berdiri dan memeluk ku. Dalam pelukannya aku temukan kehangatan dan kenyamanan yang aku cari-cari selama ini.

"Duuuhh kok sampai segitunya dek...? Sudahlah, lupakan semua. Dunia mu masih panjang. Lalui dengan bahagia, dengan senyuman manis mu." Mencubit pipi ku, agar aku tersenyum.

Merekahlah mawar merah, kasih sayangnya merenggut jantungku. Hari demi hari telah terlewati fajar nan senja pun kian berlalu. Namun rasa ini semakin kuat dan membuat pudar rasa yang dulu. Aku mulai nyaman, aku jatuh cinta. Cinta yang mungkin terlarang. Cinta yang membuat bahagia sekalipun luka.

Semakin hari rasanya semakin aneh saja. Entah kenapa? Aku ingin selalu berada di dekatnya. Mungkin karena aku sedang rindu. Rindu seseorang yang jauh dan sudah lama tak ada kabar darinya.

Rama

Bagaiman kabarnya di sana? Sungguh aku merindukannya, ponselku malah rusak, lagian aku juga terlalu sibuk dengan pekerjaan ini. Yaahh mau tidak mau aku harus menahannya. Lagi apa ya dia disana?.

"Wooyy melamun nih anak, lagi mikirin apa sih?". Buyarlah lamunan ku saat Ifan  mengagetkanku.

"Apa sih. Ganggu-ganggu saja"

"Apa yang kau pikirkan?"

"Aku kangen Nisa fan... Lagi apa ya dia disana? Semoga dia sedang baik-baik saja.

"Kenapa kau tidak hubungi saja dia? Kalau kau memang rindu."

"Entahlah fan ponsel ku rusak, lagian aku juga sibuk disini."

Meninggalkan yang sudah menjadi bagian dari diri ini tak mudah, Sesak dan sempit sudah pasti menu utamanya. Menyentuhnya, hanya bisa mengandai-andai saja. Hanya lamunanlah teman paling setia ku.

Nisa

Sudah beberapa hari ini Rama tak pernah ada kabar, apa dia sudah melupankanku? Ah, sudahlah. Buat apa aku memikirkannya, dia saja sudah tak ingat aku lagi.

"Dek, aku mau bicara sesuatu sama kamu." Tiba-tiba kak Reza menggenggam tangan ku dan membawaku ke suatu tempat.

"Mau kemana kak? Kakak mau bicara apa kok sampai pindah tempat kayak gini?" Nyerocos ku saat tangan ku di tariknya.

"Dek, aku... ku... aku suka sama kamu, aku nyaman dengan mu, aku mau kita lebih dekat lagi. Bagaimana dengan perasaanmu?."


Membuat ku terdiam kaku, beku, tanpa kata. Yang pada kenyataannya aku juga merasa nyaman dengannya dan di sisi lain aku berada di hati orang lain. Bagaimana aku bisa menjawabnya? Jujur aku ingin bahagia tapi juga tak ingin melukai hati mereka.


"Duuhh gimana ya kak, Jujur aku juga merasakan yg sama dengan semua yang kakak rasakan tapi hati ini sudah terikat dengan hati lain. Apa aku masih boleh? Apa aku tidak akan berdosa jika menghianatinya?"

"Kamu masih punya hak untuk memilih dek, lagian dia masih berstatus pacar kamu bukan suami mu, jadi itu terserah dengan pilihanmu."


"Eemm... iya aku juga sudah capek berstatus tapi tak pernah ada kabar sama sekali. Jadikan statusnya tak jelas saja. Sedangkan aku butuh sebuah kepastian."

"Ya sudah... kamu pikirkan dulu semua dengan baik-baik, aku akan tunggu jawabanmu."

Memikirkannya saja aku tidak bisa apalagi disuruh untuk memilih. Ah, benci dengan diri sendiri. Dimana komitmen ku? Kenapa aku mudah goyah. Tapi aku juga butuh kepastian, aku ingin seperti mereka-mereka yang hubungannya berjalan dengan jelas dan pasti.

Rama

Hari bertambah hari rasanya semakin tidak kuat saja menahannya. Rindu ini semakin hari semakin menyayat. Aku harus kemana? Apa yang akan aku lakukan? Menahannya. Iya, hanya itu yang bisa aku lakukan. Sekeras apa aku membendungnya, sekuat mana aku melawan antara kemauan dan ketidakberdayaan. Mendiamkannya, membuat hati ini gelisah. Namun kesibukan alasan satu-satunya untuk melupakannya.

"Hai bro...!" Tiba-tiba datanglah suara laki-laki menyapa. Menghampiri ku beserta teman ceweknya.

"Eehh iya? Ada apa?" Tanya ku nampak biasa saja.

Kami terus mengobrol, bicara ini itu dengan asyik sampai lupa waktu. Tanpa ku sadari ternyata teman ceweknya itu sedang memperhatikan ku dari tadi. Banyak pertanyaan yang timbul dari otak ku. Apakah aku terlihat aneh ataukah sebaliknya? Mengapa dia melihat ku seperti itu? Eehh... Tau-taunya dia suka pada ku. Cantik sih... Lebih cantik dari nisa. Tapi bukan perempuan yang seperti itu yang ku inginkan. Nisa adalah orang yang tepat dan satu-satunya perempuan yang terbaik untuk ku. Berwajah cantik gampang dan banyak. Tapi untuk membuat hati tertarik ada hal tersendiri. Yang tidak semua orang bisa memilikinya.

Setiap hari Cewek itu datang kesini. Kehadirannya sangat-sangat membuat ku tidak nyaman dan membuat ku tidak betah saja berlama-lama berada disini. Apalagi dengan tingkahnya yang Centil. Sungguh membuat ku sangat muak.

Kebetulan ada Rian (Teman yang kemarin membawa cewek itu) "Eh bro, maaf nih ya sebelumnya, tolong kau bawa teman cewek mu itu, aku tidak suka dia ada disini." Grutu ku karena sudah tidak tahan lagi melihat tingkah centilnya.

"Hahaha apa sih bro, Santai saja. Lagian dia juga cantik bukan...? Sudahlah... Nikmati saja bro." Nampak santai saja sambil cengingisan dan membuat ku semakin kesal saja.

Tidak enak sih, tapi ya mau gimana lagi. Jadi merasa bersalah saja sama Nisa jika terus-terusan seperti ini. Lagi apa dia disana? Sungguh aku sangat merindukannya.

Nisa

"Gimana dek? Apa jawaban mu dari pertanyaan kakak kemarin?" Tanya kak Reza dan membuat ku semakin bingung. Satu sisi hanya menunggu hal yang tak pasti dan di sisi lain dia benar-benar ada di depan mata.

"Eemm.. Gimana ya kak, iya aku mau." Jawab ku menerimanya. Apa aku salah? Karena tak ada kata putus dari Rama. Tapi dia tak ada kabar sama sekali. Dan mengabaikan ku disini sendirian.

"Bener dek? Adek menerima kakak?" Tanyanya sekali lagi dengan raut sembringahnya.

"Iya bener kak." Jawab ku sekali lagi.

"Yeess, berarti mulai sekarang kita resmi jadian ya." Bahagianya sambil memeluk ku.

Oke, sekarang aku sudah berhubungan dengan kak Reza. Tapi rasanya kok jadi gini ya. Jadi merasa bersalah terhadap Roni. Kenapa sih dia harus mengabaikan ku, tidak pernsh mengabari ku, menghilang bagaikan ditelan bumi. Jika dia tidak begitu, pasti aku tidak akan seperti ini. Hhmmz... Sudahlah... Semua sudah terjadi, fokus dengan yang sudah di depan mata saja.

Mencoba untuk menikmati hidup dan memulai yang baru. Berharap ini adalah yang terbaik untuk ku. Tapi kenyataannya...

"Nis, kamu beneran jadian sama Reza?" Tanya Zahra yang tiba-tiba baru datang dengan suara putus-putus karena berlari.

"Iya Ra, kenapa?" Jawab ku dan menanyakan kenapa ia sampai tergesa-gesa begitu.

"Nggak.. Soalnya barusan aku melihatnya boncengan sama cewek dan kelihatannya mesra banget gitu." Patahlah perasaan ku. Namun aku berusaha untuk tidak mempercayainya.

"Ah, mungkin kamu salah lihat kali Ra.. Mungkin yang kamu lihat tadi itu orang lain bukan dia, mungkin hanya mirip saja." Berusaha untuk berpositif thinking saja. Walaupun pada hati yang terdalam juga merasakan ketiknyamanan itu.

"Ah, masak sih aku salah lihat. Gak mungkin deh kayaknya. Beneran kok itu dia tadi yang aku lihat." Zara tetap ngotot bahwa yang dia lihat itu benar kak Reza.

"Hhmmz.. Iya deh Ra terserah kamu, aku hanya ingin berpositif thinking saja terhadapnya. Semoga saja kamu hanya salah lihat." Tegas ku dengan pasrah.

"Iya deh iya... Tapi kamu harus hati-hati ya, jangan kau berikan kepercayaan mu sepenuhnya." Nasehatnya membuat ku semakin takut saja pada kenyataan yang akan terjadi nanti.

"Siap boss, terimakasih Ra. Kamu memang sahabat terbaik ku." Ujar ku sambil merangkulnya. Tak ku tampakkan kegelisahanku padanya.

Walau petir baru saja menyambar, dan perihnya masih sangat terasa. Namun senyum akan selalu terciptakan oleh teman dan sahabat. Kalian pasti punya sahabatkan? Tentu punya, dan kalian juga pasti merasakan apa yang aku rasakan.


Rama

Sebentar lagi aku akan pulang, aku sudah tidak betah ada disini. Menjalani hari-hari dengan terpaksa, sungguh tidak menyenangkan. Mungkin raga ku berkeliaran disini, akan tetapi jiwa ku ada di madura. Tanah kelahiran ku, dan juga tempat kekasih ku.

"Bro, aku mau pulang." Ucap ku pada pemilik toko itu.

"Lah... Kok mau pulang, kenapa?" Tanyanya pada ku yang ngotot mau pulang.

"Aku sudah gak betah lagi (Apalagi jika teringat Nisa, rasanya sudah tak tahan lagi). Pokoknya aku mau pulang bro."

"Oke-oke, tapi dua bulan lagi. Karena aku juga harus mencari pengganti mu disini."

"Oh iya, Tidak apa-apa yg penting aku jadi pulang."

Muka melas ku kerahkan sepenuhnya demi pulang ke madura. Dan akhirnya, sebentar lagi aku akan pulang dan bertemu dengan perempuan yang aku sayangi. Rasanya sudah tak sabar menunggunya, dua bulan seakan dua tahun. Mungkin karena aku terlalu mendambakan hari itu. Iya, hari dimana aku akan sangat-sangat bahagia.


Nisa

Hari ini hujan membanjiri kecamatan Bluto. Daun kering dan plastik bekas asyik berenang. Basah kuyup, aku berteduh di bawah pohon besar dekat tempat makan (Bakso granat, orang bluto menyebutnya.) Tak sengaja terlihat, ternyata di dalam tempat tersebut ada kak Reza yang sedang makan siang dengan seorang perempuan. Mesranya dengan sedikit tawa canda telah mengoret-ngoret dada ini. Hari itu hujan bukan hanya di langit saja, melainkan juga pada hati ini. Ternyata omongan Zara benar, dan firasat ku pun begitu. Ternyata aku hanyalah salah satu mainannya. Ya Tuhan, kejam sekali dia. Aku pun pulang, menerobos hujan, karena sudah tak sanggup melihat kilat menyambar di dada.

"Halo, kakak ada dimana?" Aku menanyakan keberadaannya saat itu, dan ingin tahu kejujurannya.

"Eemm.. ada di tempat makan dek." Sepertinya dia akan jawab jujur, hati ku mulai tenang, mungkin perempuan itu adalah sepupunya.

"Ooh, sama siapa kak? Aku ganggu ya?" Tanya ku sekali lagi.

"Eemm.. Sama ibu dek, Oh iya telfon nanti saja ya, gak enak nih sama ibu, soalnya cuma lagi makan berdua saja, gak enak kalau sampai ibu dianggurin." Bohong, dia berbohong. Patah, sakitnya dada ini, tak sanggup menahan air mata lagi.

"Oh gitu, iya kak lanjutkan saja. Maaf sudah mengganggu. Assalamu'alaikum..." Langsung mematikan telfonnya. Lebih sakitnya lagi pas si cewek itu menanyakan siapa yang telfon, jawabannya adalah ibu yang nelfon. Emang aku Emmak mu...? Oh sekarang Sudah banyak Emmaknya ya.

Bodohnya aku. Tuhan, salah apa aku? Sehingga dipermainkan oleh perasaan.

(Adek sayang...!) Sebuah pesan masuk setelah sesampai ku dirumah.

(Kok gak dibalas? Adek...?)

(Adek dimana?)

(Adek)

Ku biarkan begitu saja pesannya. Sakit sudah rasanya, saat tahu wajah aslinya. Tak lama kemudian dia menelfonku karena tak ku hiraukan pesan-pesannya.

"Halo, adek... Kok gak dibalas pesan dari kakak? Kenapa? Ada apa? Adek sibuk ya?" Begitu banyak pertanyaan-pertanyaannya dan tak ada satupun yang aku jawab.

"Bisa ketemu? Aku punya banyak pertanyaan sama kamu." Ajak ku padanya.

"Oh iya, Mau ketemu dimana? Sekarang?" Tanyanya sekali

"Iya sekarang di tempat biasa saja." Jawab singkat ku langsung mematikan telfonnya.

Setelah sampai di tempat. Ku lihat, wajahnya nampak biasa-biasa saja, tenang, seakan-akan tak ada apa-apa. Dan hal itu membuat ku semakin kesal saja.

"Ada apa dek? Adek arapa, mak nangis?" Karena aku sudah tidak kuat lagi menahan bendungan air mata ini. Kak Reza pun menanyakan kenapa aku.

"Kak, jawab dengan jujur. Kenapa kakak bohong? Kenapa tadi kakak bilangnya makan sama ibu kakak? Apakah ibu kakak semuda itu umurnya? Dan semesra itu?"

"Aih maksudnya dek? Tadi adek lihat kakak? Adek tahu dari mana?"

"Iya, tadi aku lihat kakak bermesraan dengan perempuan lain di tempat makan itu. Kakak tega, ternyata aku dijakan salah satu mainan mu. Salah ku apa kak?"

Kaget, dia hanya bisa diam. Karena aku sudah mengetahui yang sebenarnya. Mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Sudah tak bisa mengelak lagi.

Pertengkaran itu semakin menjadi, amarah ku mengguncak sampai aku lelah dengan sendirinya dan tersimpuh di bibir pantai. Kemudian dia memelukku dan meminta maaf. Dia mengakui semuanya. Namun,

"Oke, adek sudah maafkan kakak. Sudah, lupakan semuanya. Anggap saja semua ini tak pernah terjadi."

"Benar dek? Adek mau maafin kakak? Setelah semua yang telah kakak lakukan pada adek."

"Iya benar, aku sudah maafin kakak tapi, hubungan ini sampai disini saja. Lebih baik kita kakak adek saja seperti dulu."

"Mengapa begitu dek? Tidak, kakak tidak mau."

"Maaf kak, aku tetap tidak bisa." Langsung pergi meninggalkannya sendiri.

Setelah itu aku telah memutuskan untuk tidak membuka hati pada orang lain lagi. Biarlah sendiri, tenangkan hati yang sudah tersakiti.

*Sejak detik itu aku benci hujan*

Rama

Dengarkanlah wanita pujaanku
Malam ini akan kusampaikan
Hasrat suci kepadamu dewiku
Dengarkanlah kesungguhan ini

Aku ingin, mempersuntingmu
Tuk yang pertama dan terakhir

Jangan kau tolak dan buatku hancur
Ku tak akan mengulang tuk meminta
Satu keyakinan hatiku ini
Akulah yang terbaik untukmu

Minggu depan aku akan menemuinya. Perempuan yang sangat aku rindukan. Aku akan mengikat jari manisnya untuk jadikan tunangan ku. Sudah tak sabar lagi hari itu akan tiba. Semua sudah aku persiapkan dan rencanakan dengan baik. Semoga pada hari jadinya lancar dan sesuai seperti yang aku inginkan. Amin.

Iya, itulah doa dan keinginanku. Niat baik ku padanya sudah bulat dan mantap.

Malam ini hujan rintik-rintik, dinginnya membangunkan bulu kudukku. Jakarta gerimis dan berkabut. Warung pun sepi akan pembeli. Namun hal itu tak dapat merubah suasana hati ku malam ini. Senang, iya tentu. Angan-angan ku mulai beterbangan, mendongeng kisah membentuk cerita. Ah, ini hanya ilusi belaka. (Senyum-senyum sendiri)

"Woy... Melamun mulu nih anak. Awas kesambet loh."

"Ah, kamu ganggu-ganggu aku aja. Sudah sana pergi. Aku mau lanjutkan cerita ku dulu."

"Dasar gila."

"Iya, aku memang sudah gila. Nisa... Nisa, lope you..."

"Aish... Iyela, ca'na be'na Rama... Rama."

Ifan pergi meninggalkan ku. Aku pun terus melanjutkan imajinasiku.

Satu minggu kemudian...

...Bus berhenti di terminal sumenep. Uadara disini jauh berbeda dengan udara di jakarta. Mulai hari ini, aku akan makan dan tidur disini tanpa ada suara pembeli. Ah, ternyata aku tak bisa move on dari hari-hari yang sangat tidak mengasyikkan itu.

Nisa

Kejutan, Rama datang secara tiba-tiba. Aku pun tak bisa berkata apa-apa, tak percaya bahwa dia ada di depan ku. Setelah hampir satu tahun tak ada kabar darinya, anggapan ku dia sudah lupa akan diri ku dan hubungan itu. Tapi aku salah.

"Kau semakin manis saja Nis" Gemesnya sambil mencubit pipi ku.

"Apa sih, kau jahat. Kenapa selama ini kamu gak pernah ada kabar? Telepon mu juga gak aktif." Tanya ku dengan memanyunkan bibir ku.

"Ponsel ku rusak, aku gak bisa hubungi kamu. Kau kira aku nyaman tanpa kabar dari mu? Tidak Nis, aku tidak tahan. Sumpah." Jawabnya, dan berusaha untuk menjelaskannya pada ku.

"Alah... Itu cuma alasan mu saja kan? Agar aku gak marah."

"Memang benar itu yang terjadi. Sudahlah... Yang terpenting sekarang aku sudah berada di hadapan mu. Dan sesuai janji ku pada mu. Besok aku akan bawa orang tua ku untuk jadikan mu sebagai tunangan ku."

Kaget, tak bisa berkata apa-apa. Mengapa harus secepat ini? Tapi jujur, aku juga sangat bahagia, karena aku masih mencintainya. Dari pada nunggu yang tak pasti dan hanya dijadikan mainan saja, Lebih baik dengannya, Lagi pula ibu juga menyetujuinya.

Pohon yang kau tancapkan kemarin hari ini sudah berbuah. Manisnya buah kurma menandingi manisnya gula. Barisan pasukan semut sudah siap siaga mengitarinya. Tinggal ku nikmati senyuman mu saja. Pagi itu agak mendung, hangatnya selimut seakan tak ingin dilepas. Tiba-tiba terdengar suara motor yang berhenti di depan rumah.

"Assalamualaikum"

Ternyata itu Rama bersama orang tuanya, OMG...!!! Seketika suasana menjadi panas dingin bagiku. Antara bahagia, malu, dan gerogi bercampur aduk, gak karuan.

"Walaikumsalam"

Keluarga ku menyambut dengan baik. Senyum bahagia terlukis indah pada wajah mereka, begitu pula dengan keadaan yang ada pada hati ku.

Kini dua keluarga satu langkah melangkah pada sebuah ikatan. Ikatan antara keluarga ku dengan keluarga Rama.

Mungkin, di gambar itu ekspresi wajahku masih sedih, tapi sekarang aku sama sekali tidak menyesal kalau tuhan telah mempertemukanku lagi dengan Rama saat itu.

(Aku percaya, kamu bisa menjaga hati ku. Maka dari itu aku memilih kamu.) Pesan terkirim to Rama




*Mulai detik ini, kita akan mencintai hujan*







 







Komentar

Postingan Populer